Bangsa kita akan mengadakan perhelatan Pemilu dan Pilkada serentak pada tahun 2024 nanti. Meski masih cukup lama, situasi politik sudah mulai ramai dengan isu tersebut. Berbagai diskusi dan seminar tentang kemungkinan yang terjadi pada tahun 2024 sudah semakin banyak. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya politik bagi bangsa kita dan juga bagi umat manusia. Dan memang, Harari dalam buku Homo Deus mengungkapkannya secara sangat menarik. Ia katakan: ‘Akar segala persoalan dunia, adalah politik.’ Harari benar, tetapi saya juga ingin menambahkan, “akar dari segala solusi terhadap persoalan bangsa dan dunia, adalah juga politik.” Realitas inilah yang membuat politik menjadi sangat penting!
Memang, politik akan menjadi persoalan saat ia dimaknai sebagai perebutan kekuasaan, pencarian dominasi dan hegemoni; tetapi politik akan menjadi solusi yang ampuh bila dimaknai sebagai panggilan untuk mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan kemanusiaan. Menjadi pertanyaan; mengapa di daerah tertentu penduduknya berkelimpahan, sementara di daerah lain kelaparan?; mengapa koruptor dengan mudah dibebaskan?; mengapa ada provinsi yang dibiarkan menerapkan hukum agama yang diskriminatif terhadap umat lain?; mengapa dulu harga bensin di Papua mahal, tapi kini harganya sama; mengapa anarkisme, terutama yang atas nama agama, semakin bisa diredam. Jawabannya: Politik!
Politik itu seperti pisau yang bisa digunakan untuk memotong sayuran, tetapi juga bisa digunakan untuk membunuh sesama. Itulah yang saya maksud dengan ambiguitas politik. Sifat politik selalu mendua. Politik bisa digunakan, dan bisa disalahgunakan; tergantung penggunanya. Bisa untuk mengabdi pada keadilan dan memperkuat persatuan, bisa juga untuk melayani nafsu dan kepentingan politisi pada kekuasaan, dan untuk mendiskriminasi sesama
Ambiguitas politik inilah yang membuat pada satu sisi, politik dilihat sebagai sesuatu yang suci (Sabam Sirait); Leimena dan Desmond Tutu melihat politik sebagai panggilan sekaligus etika untuk melayani bangsa dan sesama. Berbagai teori yang melihat politik secara positif, mendefinisikan politik sebagai upaya ‘managing’ bangsa yang beraneka ragam untuk kebaikan bersama. Pada sisi lain, politik itu, kata Machiavelli, tentang nafsu untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Bahkan, ia lanjutkan, politik itu cenderung menghalalkan cara apa pun demi kekuasaan. Itulah sebabnya secara negatif, politik itu tentang dominasi dan hegemoni seseorang atau sekelompok orang terhadap sesamanya. Kecenderungan negatif politik inilah yang membuat orang sering mengatakan bahwa politik itu kotor dan jahat. Tentu saja ada benarnya, tetapi tidak selalu demikian.
Realistis
Ambiguitas politik yang telah diuraikan di atas, mengajak kita untuk bersikap realistis terhadap politik. Pada satu sisi, kita tidak boleh terlalu mengagungkan sisi positif politik. Sikap ini akan menjebak kita pada utopianisme. Kita terlalu berharap politik demokrasi bangsa kita akan berjalan dalam rel yang benar; kita berharap politisi kita akan menjadi negarawan yang berpikir untuk semua, dan kita terlalu berharap akan menjadi negara yang adil, damai dan sejahtera. Efeknya, kita menjadi tidak kritis. Kita menjadi seperti katak yang dimasukkan dalam baskom berisi air yang sedang dimasak. Tidak waspada terhadap bahaya, lalu mati sia-sia. Memang, kenyataannya banyak orang menafsirkan dan menyalahgunakan politik demokrasi untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kaum fundamentalis agama sering memanfaatkan kebebasan yang diperoleh di dalam sistem demokrasi untuk menjungkir-balikkan demokrasi itu sendiri.
Pada sisi lain, kita tidak boleh memberi cap bahwa politik itu terlalu kotor dan jahat, sehingga kita mengambil sikap apatis terhadap politik. Sikap apatis terhadap politik ini sangat berbahaya. Keengganan melibatkan diri dalam politik akan merusak pentingnya budaya partisipasi dan menumpulkan fungsi kontrol yang memang diharuskan dalam budaya demokrasi. Apatisme sama dengan membiarkan arena politik dikuasai oleh orang-orang jahat yang akan melakukan kebijakan politik yang akan menciptakan ketidakadilan; lalu menghancurkan bangsa dan kemanusiaan. Justru karena politik itu punya potensi untuk dikotori dan penuh dengan intrik jahat, maka orang-orang baik perlu terjun di dalam dunia politik untuk memperjuangkan kebaikan semua.
Dalam konteks ambiguitas politik itulah setiap warga bangsa dan negara ini, termasuk umat Kristen, dipanggil untuk terjun dalam dunia politik dengan tujuan dan komitmen untuk menciptakan keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan bagi semua. Di dalam perjuangan politik untuk mempertahankan sistem demokrasi dan budaya Pancasila yang sudah menjadi kesepakatan bangsa kita, harus bisa menjalin kerjasama dengan siapa pun, apa pun agama dan etniknya. Keterlibatan kita dalam politik harus diiringi juga dengan kemampuan bersikap kritis terhadap potensi dan bahaya penyalahgunaan politik demi kepentingan pribadi atau demi primordialisme kelompok. Tentu saja, kita pun harus mulai dengan mengkritisi potensi penyalahgunaan politik oleh diri kita sendiri.
Pdt. Albertus Patty
Bandung, 3 Agustus 2022
Sumber: https://selisip.com/slp16/2022/08/politik-dan-ambiguitasnya/